Skip to main content

Upacara Pitra Yadnya (Memukur) Menyucikan Roh Leluhur

Pelaksanaan upacāra Mamukur, seperti upacāra-upacāra Yajña lainnya disesuaikan dengan kemampuan Sang Yajamana, yakni mereka yang melaksanakan upacāra tersebut. Secara garis besar, sesuai kemampuan umat dibedakan menjadi 3 kelompok, yakni yang besar (uttama), menengah (madhya) dan yang sederhana (kanistama). Pada upacāra Mamukur yang besar, rangkaian upacāranya terdiri dari:

  • Ngangget Don Bingin, yakni upacāra memetik daun beringin (kalpataru/kalpavṛiksa) untuk dipergunakan sebagai bahan puṣpaśarīra (simbol badan roh) yang nantinya dirangkai sedemikian rupa seperti sebuah tumpeng (dibungkus kain putih), dilengkapi dengan prerai (ukiran/lukisan wajah manusia, laki/perempuan) dan dihiasi dengan bunga ratna. Upacāra ini berupa prosesi (mapeed) menuju pohon beringin diawali dengan tedung agung, mamas, bandrang dan lain-lain, sebagai alas daun yang dipetik adalah tikar kalasa yang di atasnya ditempatkan kain putih sebagai pembungkus daun beringin tersebut.
  • Ngajum, Setelah daun beringin tiba di tempat upacāra, maka untuk masing-masing perwujudan roh, dipilih sebanyak 108 lembar, ditusuk dan dirangkai sedemikian rupa kemudian disebut Sekah. Jumlah Sekah sebanyak roh yang akan diupacārakan, di samping jumlah tersebut, dibuat juga untuk Lingga atau Sangge. Setelah Sekah dihiasi seperti tubuh manusia dengan busana selengkapnya (berwarna putih), dilakukan upacāra Ngajum, yakni mensthanakan roh pada Sekah tersebut, sekaligus ditempatkan di panggung upacāra yang disebut Payajñan (tempat upacāra Yajña yang khusus untuk hal itu, terbuat dari batang pinang yang sudah dihaluskan).

  • Amet Toya Hening. Rangkaian upacāra selanjutnya, dapat dilakukan pada pagi hari menjelang hari "H", berupa prosesi (mapeed) mengambil air jernih (toya hening) sebagai bahan utama air suci (Tirtha) bagi pandita atau dwijati yang akan memimpin upacāra yajña Mamukur tersebut. Toya hening tersebut ditempatkan di bale Pamujan (Pawedan) di depan panggung Payajñan.

  • Mapinton atau Mapajati, Upacāra ini berupa prosesi (mapeed) bagi puṣpaśarīra (roh yang diupacārakan) untuk mempermaklumkan kepada para dewata yang bersthana pada pura-pura terdekat, utamanya pura untuk pemujaan leluhur (Kawitan).

  • Mapradaksina, Upacāra ini sering disebut Mapurwadaksina, yakni prosesi (mapeed) bagi puṣpaśarīra (yang dipangku atau dijunjung oleh anak cucu keturunannya, memakai bhusana serba putih), dilakukan pada hari "H", setelah upacāra Mapinton, mengelilingi panggung Payajñan sebanyak 3 kali (dari arah Selatan ke arah Timur) mengikuti jejak lembu putih (sapi gading), yang dituntun oleh gembalanya, di atas hamparan kain putih, dilakukan secara khusuk , diiringi gamelan gambang, saron atau selonding, gong gede, kidung, kakawin, pembacaan parwa (Mahābhārata) dan Putrupasaji (biasa oleh Walaka senior).

  • Puncak Upacāra (Pandita Muput Yajña). Bersamaan dengan upacāra Mapradaksina, seorang atau beberapa pandita (Sulinggih) yang memimpin pelaksanaan upacāra, melakukan pula upacāra;

a.  Melaspas bukur atau madhya, atau padma anglayang, alat untuk mengusung puṣpaśarīra yang telah disucikan (di-pralina) berupa meru (beratap tumpang) dihias dengan hiasan kertas emas, kemudian ditempatkan di dekat panggung Payajñan.

b. Ngaliwet, yakni upacāra menanak nasi sebagai saji tarpana (di India umumnya nasi tersebut dibuat bulat seperti bola pingpong (penek/pulung-pulung kecil) disebut pinda, sebanyak 108 buah, dipersembahkan kepada roh yang diupacārakan, di samping dipersembahkan kepada para dewata dan leluhur). Memasaknya dilakukan di depan Sanggar Tawang (depan panggung Payajñan) dipimpin oleh pandita. Beras yang dipersiapkan di atas nyiru berisi lukisan padma dan wijaksara (huruf suci) tertentu dituangi empehan (susu) dan madu (madhuparka).

c. Ngenyitin Damar Kurung (Menyalakan Lampu Terkurung/Lampion) yang ditempatkan di sebelah panggung Payajñan atau di pintu masuk areal upacāra.

d. Ngilenang Padudusan, yakni melaksanakan upacāra penyucian ditujukan kepada Sanggar Tawang (Sanggar Surya), untuk memohon perkenan para dewa/dewata turun menyaksikan dan menganugrahkan keberhasilan Yajña tersebut, di panggung Payajñan, untuk menyucikan roh-roh yang diupacārakan.

e.  Muspa, yakni upacāra persembahyangan yang didahului pemujaan kepada Sang Hyang Surya sebagai saksi agung alam semesta, kemudian kepada para dewata dan leluhur, serta sembah untuk pelepasan roh (Ātma) dari ikatan Suksma Śarīra yang diikuti oleh Sang Yajamana dan seluruh keluarga besarnya.

f.  Pralina, yakni upacāra tahap akhir dilakukan oleh pandita (Sulinggih) sebagai simbol pelepasan Ātma dari ikatan Suksma Śarīra.

g.  Papendetan, yakni mempersembahkan tari-tarian, bahwa tapa pelepasan roh telah dilaksanakan, para leluhur sesaat lagi akan menuju alam sorga.

h. Ngeseng Puṣpalingga, yakni membakar puṣpaśarīra (wujud roh) di atas dulang dari tanah liat atau dulang perak, dengan sarana sepit, panguyegan, balai gading dan lain-lain, dengan api pembakaran yang diberikan oleh pandita pemimpin upacāra. Upacāra ini sangat baik dilakukan pada dini hari, saat dunia dan segala isinya dalam suasana hening guna mengkondisikan pelepasan Ātma dari keduniawian.

i.   Sekah tunggal. Selesai upacāra Ngeseng, maka arang/abu dari puṣpaśarīra dimasukkan ke dalam degan (kelungah) kelapa gading, dibungkus kain putih dan dihias dengan bunga harum selanjutnya disthanakan di dalam bukur, di atas padma anglayang atau di dalam bokor perak, diikuti dengan persembahyangan oleh keluarga.
  • Nganyut Sekah ke Segara. Upacāra ini merupakan tahap terakhir dari upacāra Mamukur, dapat dilakukan langsung selesai upacāra Ngeseng Sekah (upacāra ini umumnya disebut Ngalanus) atau keesokan pagi harinya disebut upacāra Ngirim. Setelah tiba di tepi pantai, arang/abu yang ditempatkan dalam kelungah kelapa gading dikeluarkan dan ditebarkan di tepi pantai yang didahului dengan upacāra persembahan sesajen kepada Sang Hyang Baruna, sebagai dewata penguasa laut, sekaligus permohonan penyucian terhadap roh yang diupacārakan dan diakhiri dengan persembahyangan oleh keluarga.


  • Dewapiṭṛa Pratiṣṭha (Ngalinggihang Dewapiṭṛa/Dewapitara). Upacāra ini bukan merupakan bagian dari upacāra Mamukur, melainkan merupakan upacāra kelanjutan dari upacāra Mamukur itu. Upacāra ini sering disebut Ngalinggihang Dewa Hyang, merupakan tradisi lebih lanjut dari men-dharma-kana leluhurnya pada pura Kawitan masing-masing yang dirangkai pula dengan upacāra Nyagara-Gunung atau Majar-ajar, seperti ke pantai Goalawah dan pura Dalem Puri, Penataran Agung Besakih.

Demikian sepintas pelaksanaan upacāra Mamukur dan Dewapiṭṛa Pratiṣṭha yang umum dilakukan oleh umat Hindu di Indonesia, khususnya umat Hindu di daerah Bali.


MAKNA UPACĀRA MAMUKUR & DEWAPIṬṚA PRATIṢṬHA

Memperhatikan rangkaian pelaksanaan upacāra Mamukur dan Dewapiṭṛa Pratiṣṭha seperti tersebut di atas, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacāra tersebut adalah:

1. Ngangget Don Bingin. Pohon bingin atau beringin di dalam kitab suci veda dan susastra Hindu lainnya disebut Kalpataru atau Kalpavṛikṣa. Sejenis dengan pohon ini disebut pula Asvatta. Pohon beringin pada mulanya tumbuh di sorga dan untuk kemakmuran umat manusia, pohon ini diturunkan ke bumi sebagai simbolis untuk memperoleh kemakmuran. Pohon kalpataru ini benyak dipahatkan pada dinding luar mandir atau candi, seperti halnya dapat kita lihat di candi Prambananan, Jawa Tengah. Upacāra Ngangget Don Bingin mengandung makna untuk memantapkan hati sang Yajamana beserta keluarganya untuk menyelenggarakan upacāra penyucian arwah leluhur dengan menjadikan daun beringin (108 lembar) sebagai badan spiritual bagi arwah yang akan disucikan ini. Arwah atau roh yang disucikan itu diharapkan natinya mencapai sorga, juga sering disebut "munggah ring ron baingin".

2. Ngajum Puṣpaśarīra atau Puṣpalingga. Upacāra ini mengandung makna supaya leluhur yang diupacārakan berkenan hadir dan menjadikan Puṣpaśarīra sebagai perwujudan badannya. Ātma yang akan disucikan sebagai puruûa, sedang Puṣpaśarīra sebagai prakṛti-nya.

3. Mapradaksina atau mapurwadaksina. Upacāra ini mengandung makna untuk menurunkan roh leluhur yang akan diupacārakan berkenan turun hadir dalam upacāra, selanjutnya mengikuti jejak lembu putih (sapi gading) sebagai simbol mengikuti jalan ketuhanan, karena lembu putih adalah kendaraan dewa Śiva. Melalui upacāra ini dimohon kehadapan Sang Hyang Śiva supaya leluhur yang diupacārakan dapat mencapai sorga, sthana Sang Hyang Śiva di gunung Kailaśa di arah Ttimur Laut yang menjulang tinggi.

4. Ngaliwet. Upacāra ini mengandung makna sebagai persembahan atau bekal roh untuk selanjutnya dipersembahkan kepada Sang Hyang Śiva. Persembahan berupa nasi yang dibuat berbentuk seperti bola pingpong itu di India disebut Pióîa atau Piṭṛapinda. Dalam upacāra Ngaben, umat Hindu mempersembahkan bubur bundar (bubur-pitara) sebagai persembahan roh kepada Sang Hyang Yama, putra Sang Hyang Sūrya (Śiva) sebagai penguasa alam kematian (Piṭṛaloka), demikian pula dalam upacāra memukur ini, roh yang telah disecikan disebut Piṭṛa atau Pitara dimohon pula dapat membimbing kehidupan anak cucunya di dunia ini untuk mencapai kesejahtraan dan kebahagiaan.

5. Ngeseng Puṣpaśarīra. Inilah puncak acara untuk melenyapkan keterikatan Ātma dengan Suksma Śarīra atau keduniawiannya, sehingga Ātma yang bersangkutan dapat mencapai sorga bahkan lebih tinggi lagi yakni mencapai Moksa, bersatu dengan Hyang Widhi. Upacāra ini didahului dengan Mapadudus, yang mengandung makna penyucian, upacāra Tarpana, mempersembahkan sajian kepada roh yang diupacārakan, Ngelepas Ātma (membebaskan ma dari keterikatan duniawi) dan Muspa atau persembahyangan guna memohonkan Ātma tersebut bebas dari keduniawian, untuk selanjutnya dapat disembah oleh anak cucunya untuk memohon wara nugraha dan perlindungan.

6. Nganyut Sekah ke Segara. Upacāra ini mengandung makna bahwa abu bekas Puṣpaśarīra ini dikembalikan ke usur alam yang disebut Pañca Māhabhūta yang disimboliskan dengan air. Air laut berfungsi sebagai rangkaian akhir hanyutnya kekotoran dunia, sekaligus pula sebagai tempat penyucian dan tirtha Amṛita (air kehidupan dan keabadian).

7. Dewapiṭṛa Pratiṣṭha. Upacāra ini mengandung makna permohonan kepada Ātma yang disucikan itu berkenan untuk bersthana pada pura keluarga, Sanggah Kamulan, pamarajan atau Kawitan, untuk disembah, dimohon wara nugraha dan perlindungannya. Upacāra ini dirangkai pula dengan upacāra Nyagara-gunung atau Majar-ajar mengandung makna memberitahukan kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur sebagai perwujudan Piṭṛa ṛnam, bakti anak cucu kepada leluhurnya.

Demikian sepintas makna upacāra Mamukur dan Dewapiṭṛa Pratiṣṭha yang dilakukan oleh umat Hindu untuk menunjukkan bakti pratisantana (anak cucu) kepada leluhurnya, dengan demikian hubungan yang harmonis dengan Hyang Widhi, para dewata dan leluhur dapat diwujudnyatakan untuk kesejahtraan dan kebahagian hidup umat manusia.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana secara detail

Mengingat rekan-rekan sedharma di Bali dan di luar Bali banyak yang membangun tempat sembahyang atau Pura dengan pelinggih utama berupa Padmasana, perlu kiranya kita mempelajari seluk beluk Padmasana agar tujuan membangun simbol atau “Niyasa” sebagai objek konsentrasi memuja Hyang Widhi dapat tercapai dengan baik. ARTI PADMASANA Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh  Prof. Dr. P.J. Zoetmulder  (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh  Prof. Drs.S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, a

Dinamika Budaya Organisasi

DINAMIKA BUDAYA ORGANISASI A.                 Pengertian Budaya Organisasi Berdarakan pengertian kebudayaan di atas, budaya organisasi itu didasarkan pada suatu konsep bangunan pada tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan Asumsi Dasar ( Basic Assumption ), kemudian Tingkatan Nilai ( Value ), dan Tingkatan Artifact yaitu sesuatu yang ditinggalkan. Tingkatan asumsi dasar itu merupakan hubungan manusia dengan apa yang ada di lingkungannya, alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, hubungan itu sendiri, dan hal ini, asumsi dasar bisa diartikan suatu philosophy, keyakinan, yaitu suatu yang tidak bisa dilihat oleh mata tapi ditanggung bahwa itu ada. Tingkatan yang berikutnya Value , Value itu dalam hubungannya dengan perbuatan atau tingkah laku, untuk itu, value itu bisa diukur (ditest) dengan adanya perubahan-perubahan atau dengan melalui konsensus sosial. Sedangkan artifact adalah sesuatu yang bisa dilihat tetapi sulit untuk ditirukan, bisa dalam bentuk tehnologi, seni, atau sesuatu yang b

Makna Acintya Dalam Hindu

Paling tidak ada dua makna yang dapat diurai berkaitan dengan “Acintya” ini. Pertama, Acintya sebagai suatu istilah yang didalam kitab suci Bhagavadgita II.25, XII.3 atas Manawadharmasastra I.3 disebut dengan kata: Acintyah, Acintyam atau Acintyasa yang artinya memiliki sifat yang tidak dapat dipikirkan. Dalam bahasa Lontar Bhuwana Kosa, “Acintyam” bahkan diberi artian sebagai “sukma tar keneng anggen-anggen”: amat gaib dan tidak dapat dipikirkan. Lalu siapa yang dikatakan memiliki sifat tidak dapat dipikirkan itu, tidak lain dari Sang Paramatman (Hyang Widhi) termasuk Sang Atman itu sendiri. Jadi, sebagai suatu istilah, “Acintya” mengandung makna sebagai penyebutan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan. Kedua, Acintya sebagai symbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan itu sendiri. Bahwa apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui media penggambaran, relief atau pematungan. Maka muncullah gambar Acintya di atas selembar kain puti