Skip to main content

Mengenal Scene Modes Pada Kamera

Selain mode automatic, banyak orang yang mengunakan scene modes untuk memotret. Scene modes adalah beberapa mode untuk membantu kamera memilih setting yang tepat sesuai dengan subjek yang difoto. Scene modes ditemukan di kamera pocket sampai DSLR kelas menengah.
Di kelas DSLR canggih, scene modes ditiadakan karena pengguna kamera DSLR canggih dianggap sudah bisa menyeting secara manual dan tidak membutuhkan scene modes lagi.
Scene modes populer bagi yang menyukai kepraktisan dan tidak mau pusing-pusing untuk menyeting kamera. Dibawah ini adalah penjelasan dari beberapa efek scene modes populer. Untuk mengetahui secara lengkap teknis masing-masing scene modes, kita bisa membacanya di buku manual kamera masing-masing.
Scene Modes kamera compact Nikon
Portrait (simbol wajah manusia) : Kamera akan berusaha mendeteksi wajah dan berusaha melembutkan wajah. Ketajaman dikurangi supaya pori-pori atau jerawat di wajah tidak terlalu jelas. Kamera juga akan memilih bukaan
lensa yang relatif besar untuk membuat latar belakang blur.
Landscape (simbol gunung) : Biasanya digunakan untuk foto pemandangan. Kamera akan cenderung memilih bukaan lensa yang kecil supaya semua bidang foto tajam. Selain itu ketajaman dan warna biru dan hijau saturasinya dibuat lebih tinggi supaya detailnya lebih terlihat dan menarik.
Olahraga (simbol orang berlari) : Kamera akan memilih shutter speed yang cepat dengan upaya untuk membekukan gerakan. Mode autofokus akan berubah menjadi subjek tracking (AI-Servo/AF-C) untuk mengikuti pergerakan subjek. Kamera juga akan memilih drive mode continuous shooting, sehingga saat tombol jepret kamera ditekan dan ditahan, kamera akan terus menerus membuat foto.
Night Portrait (simbol manusia dan bintang) : Hampir sama dengan scene Portrait. Sebagai tambahan, kamera akan memilih shutter speed lambat, dengan tujuan untuk menangkap cahaya lingkungan. Biasanya hasilnya lebih baik dan tajam jika mengunakan lampu kilat.
Night Scene (simbol bulan) : Untuk foto pemandangan malam. Kamera akan memilih shutter speed yang lambat supaya foto di malam hari terlihat terang. Dibutuhkan tripod supaya foto tidak blur.
Close-up (simbol bunga) : Untuk foto-foto subjek dengan jarak dekat (dibawah 30 cm). Idealnya saat mengunakan lensa makro. Di kamera compact, biasanya lensanya sudah ada fitur makronya. Dengan menekan simbol bunga, maka lensa akan mencari fokus terdekat. Cocok untuk foto serangga, bunga, benda-benda kecil lainnya.
Monokrom (simbol hitam putih) : Mengubah warna menjadi grayscale (hitam putih). Baik untuk foto tulisan atau hal-hal yang tidak membutuhkan warna. Sebaiknya tidak menggunakan untuk mendapatkan foto hitam putih karena nantinya tidak bisa dikembalikan ke warna. Hasil akan lebih baik jika kita mengkonversi foto warna ke monokrom melalui software pengolah foto.
Kembang api : Kamera akan memilih shutter speed yang sangat lambat dan menyeting fokus ke tak terhingga. Harus pakai tripod jika tidak foto akan blur karena goyangan tangan kita.
Panorama : Scene mode yang paling menarik untuk foto pemandangan yang lebar. Kita tinggal menekan tombol jepret dan menggerakkan kamera dari kiri ke kanan atau tas ke bawah.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana secara detail

Mengingat rekan-rekan sedharma di Bali dan di luar Bali banyak yang membangun tempat sembahyang atau Pura dengan pelinggih utama berupa Padmasana, perlu kiranya kita mempelajari seluk beluk Padmasana agar tujuan membangun simbol atau “Niyasa” sebagai objek konsentrasi memuja Hyang Widhi dapat tercapai dengan baik. ARTI PADMASANA Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh  Prof. Dr. P.J. Zoetmulder  (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh  Prof. Drs.S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, a

Dinamika Budaya Organisasi

DINAMIKA BUDAYA ORGANISASI A.                 Pengertian Budaya Organisasi Berdarakan pengertian kebudayaan di atas, budaya organisasi itu didasarkan pada suatu konsep bangunan pada tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan Asumsi Dasar ( Basic Assumption ), kemudian Tingkatan Nilai ( Value ), dan Tingkatan Artifact yaitu sesuatu yang ditinggalkan. Tingkatan asumsi dasar itu merupakan hubungan manusia dengan apa yang ada di lingkungannya, alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, hubungan itu sendiri, dan hal ini, asumsi dasar bisa diartikan suatu philosophy, keyakinan, yaitu suatu yang tidak bisa dilihat oleh mata tapi ditanggung bahwa itu ada. Tingkatan yang berikutnya Value , Value itu dalam hubungannya dengan perbuatan atau tingkah laku, untuk itu, value itu bisa diukur (ditest) dengan adanya perubahan-perubahan atau dengan melalui konsensus sosial. Sedangkan artifact adalah sesuatu yang bisa dilihat tetapi sulit untuk ditirukan, bisa dalam bentuk tehnologi, seni, atau sesuatu yang b

Makna Acintya Dalam Hindu

Paling tidak ada dua makna yang dapat diurai berkaitan dengan “Acintya” ini. Pertama, Acintya sebagai suatu istilah yang didalam kitab suci Bhagavadgita II.25, XII.3 atas Manawadharmasastra I.3 disebut dengan kata: Acintyah, Acintyam atau Acintyasa yang artinya memiliki sifat yang tidak dapat dipikirkan. Dalam bahasa Lontar Bhuwana Kosa, “Acintyam” bahkan diberi artian sebagai “sukma tar keneng anggen-anggen”: amat gaib dan tidak dapat dipikirkan. Lalu siapa yang dikatakan memiliki sifat tidak dapat dipikirkan itu, tidak lain dari Sang Paramatman (Hyang Widhi) termasuk Sang Atman itu sendiri. Jadi, sebagai suatu istilah, “Acintya” mengandung makna sebagai penyebutan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan. Kedua, Acintya sebagai symbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan itu sendiri. Bahwa apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui media penggambaran, relief atau pematungan. Maka muncullah gambar Acintya di atas selembar kain puti