Dalam bahasa Indonesia,
omed-omedan berarti tarik-menarik. Namun dalam bahasa Bali, sama halnya dengan
paid-paidan yang artinya juga tarik-menarik. Tradisi omed-omedan adalah upacara
adat yang diperingati warga Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan.
Konon mulanya, usai Hari
Raya Nyepi, teruna-teruni (pemuda-pemudi) sekitar kerajaan Puri Oka menggelar
permainan med-medan. Mereka tarik-menarik, semakin seru dan gembiranya mereka
kemudian saling merangkul, dan keadaan menjadi gaduh karenanya. Susasana ricuh
tersebut di dengar raja Puri Oka yang sedang sakit, beliau marah besar dan
kemudian ia berniat keluar untuk menghardik sumber kegaduhan tersebut. Namun
setibanya ia diluar dan menyaksikan adegan itu, amarahnya hilang. Sejenak rasa
sakitnya berkurang, dan mendadak hilang hingga ia sehat seperti sedia kala.
Sang raja dapat tersenyum, dan bahagia kembali.
Konon, acara ini sudah diwariskan sejak tahun 1900-an dan
hanya bisa ditemukan di Banjar Kaja Sesetan. Warga setempat meyakini, bila
acara ini tak diselenggarakan, dalam satu tahun mendatang berkah Sang Dewata
sulit diharapkan dan berbagai peristiwa buruk akan datang menimpa. Pernah
pada 1970-an ditiadakan, tiba-tiba di pelataran Pura terjadi perkelahian dua
ekor babi. Mereka terluka dan berdarah-darah, lalu menghilang begitu saja.
Peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi semua warga Banjar.
Semenjak saat itu, raja
lalu mengeluarkan titah agar omed-omedan dilaksanakan tiap tahun, tiap tanggal
satu tahun Cakka kalender Bali, atau yang dikenal dengan Ngembak Geni (sehari
setelah Nyepi). Menurut I Gusti Ngurah Oka, tradisi ini merupakan luapan kebahagiaan
anak-anak muda saat Ngambek Geni. Selain sebagai unsur hiburan, sampai saat ini
tradisi omed-omedan memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah penghormatan
terhadap leluhur, memupuk rasa kesetiakawanan dalam kerangka saling asah, asih
dan asuh. Juga menjaga keharmonisan hubungan sesuai dengan norma yang berlaku,
membangun solidaritas dan persatuan masyarakat dalam situasi bahagia.
Para
teruna-teruni yang mengikuti tradisi adalah warga Banjar yang menginjak dewasa
namun belum menikah, umumnya berusia 17 hingga 30 tahun. Sebelum acara
dimulaisekitar pukul 14.00 wita, mereka berkumpul untuk bersembahyang bersama.
Seusai kegiatan tersebut, semua peserta dibagi menjadi dua kelompok. Yang putra
menjadi satu barisan, dan yang putri berada pada barisan lain. Kedua kelompok
tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah
seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat.
Peserta yang akan melakukan tradisi ini digendong sesuai urutannya, kemudian di
pertemukan dengan pasangan lawan jenisnya. Setelah bertemu pada suatu titik
kemudian mereka saling tarik menarik, berpelukan dan berciuman disaksikan
ribuan penonton termasuk warga sekitar.
Prosesi tersebut dilakukan bergantian dan
bergiliran hingga semua peserta kebagian berciuman. Namun menurut cerita, untuk
mencium pasangan tidaklah mudah, mengingat ramainya dan berjubel para penonton
yang memadati area. Bagi mereka yang berhasil mencium pasangannya, dibolehkan
berhenti setelah para tetua adat membunyikan peluit. Jika tidak berhasil,
pasangan tersebut akan disiram air hingga basah kuyub. Awalnya siraman air ini
hanya diberlakukan untuk pasangan yang gagal berciuman, namun karna antusias
dengan kemeriahan tersebut, hampir tiap peserta diguyur setelah usai berciuman.
Sehingga tradisi ini memang rentan dengan air dan basah-basahan.
Selanjutnya,
salah satu dari kedua kelompok pemuda dan pemudi kemudian diarak bergiliran
untuk saling berpelukan dan berciuman. Dalam tradisi ini kedua peserta yang
diarak ini tidak boleh memilik pasangan yang diciumnya. Aksi
berpelukan dan berciuman ini akan dipisahkan setelah para peserta mendapat guyuran
air dari panitia. Bagi para peserta, meski mengaku risih karena berciuman ditempat
ramai, namun hal ini dilakukan karena merupakan salah satu tradisi leluhur,
sekaligus sebagai hiburan pasca melaksanakan tapa brata
penyepian. Sementara bagi sesepuh desa sendiri selain sebagia salah satu
penghormatan terhadap leluhur, tradisi omed-omedan juga sebagai ajang membina
hubungan antar sesama warga Banjar tersebut.
Comments
Post a Comment