Jika Anda sedang berada di Bali, Anda tentu sering mendengar
nama-nama khas Bali mulai Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Ida Bagus, dan
sebagainya. Semua nama itu ternyata ada artinya.
Kita mulai dulu dengan sebutan I dan Ni pada nama-nama orang Bali. Huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan adalah Ni. I dan Ni juga bermakna seorang lelaki dan wanita dari keluarga masyarakat kebanyakan, tidak berkasta atau biasa disebut orang jaba. Jika ia terlahir di keluarga penempa besi, maka orang Bali ini bernama Pande. Bila di depan Wayan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga Brahmana. Ida Bagus berarti yang Tampan atau Terhormat. Jika saja ia digelari Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.
Kita mulai dulu dengan sebutan I dan Ni pada nama-nama orang Bali. Huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan adalah Ni. I dan Ni juga bermakna seorang lelaki dan wanita dari keluarga masyarakat kebanyakan, tidak berkasta atau biasa disebut orang jaba. Jika ia terlahir di keluarga penempa besi, maka orang Bali ini bernama Pande. Bila di depan Wayan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga Brahmana. Ida Bagus berarti yang Tampan atau Terhormat. Jika saja ia digelari Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.
Nama Wayan berasal dari kata “wayahan"
yang artinya yang paling matang. Titel anak kedua adalah Made yang
berakar dari kata "Madia" yang artinya tengah. Anak ketiga dipanggil
Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna
“sisa” atau “akhir”. Jadi menurut pandangan hidup orang Bali, sebaiknya
sebuah keluarga memiliki tiga anak saja. Setelah beranak tiga, kita
disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional
kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak
diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri
mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak.
Anak keempat gelarnya Ketut. Ia berasal dari
kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar
dari sesisir pisang. Ia adalah anak "bonus" yang tersayang. Karena
program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bernama
Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya
sebutan kesayangan ini.
Menurut situs balirustique.com, orang Bali memiliki sebuah tabu atau pantangan bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, yang di Bali disebut bikul, jika sedang ada di sawah. Menyebut tikus di sawah, dipercaya bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu jika sedang di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.
Bila keluarga berencana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak, maka mulai dari anak kelima, orang Bali mengulang siklus titel di atas. Anak kelima bergelar Wayan, keenam Made, dan seterusnya.
Menurut situs balirustique.com, orang Bali memiliki sebuah tabu atau pantangan bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, yang di Bali disebut bikul, jika sedang ada di sawah. Menyebut tikus di sawah, dipercaya bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu jika sedang di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.
Bila keluarga berencana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak, maka mulai dari anak kelima, orang Bali mengulang siklus titel di atas. Anak kelima bergelar Wayan, keenam Made, dan seterusnya.
Namun jika bicara lebih rinci, ketiga titel
hirarki kelahiran orang Bali memiliki sinonim; untuk Wayan: Putu, Kompiang,
atau Gede; untuk Made: Kadek atau Nengah; untuk Nyoman: Komang. Sementara nama
Ketut yang istimewa tak bersinonim.
Seperti orang Jawa, orang Bali tidak memiliki
nama marga atau nama keluarga (family name). Jadi kalau dilihat dari kaca
mata orang barat, orang Bali hanya memiliki first name tanpa family name. Konon
ini memudahkan orang untuk menyamar di waktu perang. Bahkan bila
terpaksa, setelah kekalahan militer, seorang bangsawan bisa mengaku sebagai
orang kebanyakan. Dan seluruh keturunannya pun terpaksa memakai titel I atau Ni.
Meski tidak mengenal nama marga atau fam, ada
juga orang Bali yang yang turun temurun dengan jelas menambahkan nama marga
atau sub marga sepeti Dusak, Pendit, dan lain lain di belakang nama depan
. Misalnya saja (hanya rekayasa), Wayan Sujana Pendit. Di jaman modern
ketika nama keluarga jadi penting untuk urusan paspor atau kalau tinggal di
luar negeri, beberapa keluarga Bali yang progresif membuat nama marga baru yang
biasanya diambil dari nama seorang ayah yang berpendidikan tinggi dan “sukses”.
Banyak hal yang berubah di Bali sejak
kemerdekaan Indonesia. Bila di zaman dulu orang menamai anaknya sekehendak
hati, sering tanpa arti, atau hanya onomatope, di zaman sekarang ini,
orang-orang mulai ramai memakai nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Ada
juga nama orang Bali kini yang sudah 'bernuansa' barat seperti misal I Ketut
Bobby atau Ni Luh Ayu Cindy.
Sumber: http://www.beritabali.com
Comments
Post a Comment