Alkisah lebih dari 300 tahun lalu, hanya 12 orang penjaga perbatasan
keturunan China harus menghadapi seribu prajurit yang ingin menyerang
Kerajaan Bangli di perbatasan Buleleng. Selusin prajurit yang setia pada
rajanya itu lalu menyalakan banyak lampion di penjuru desa untuk bisa
mengamati musuh.
Prajurit lawan malah mengira titik-titik cahaya itu sebagai petanda
banyaknya musuh yang harus dihadapi. Mereka takut. Ekspansi wilayah ini
kemudian dibatalkan.
Demikian legenda kesetiaan warga etnis China versi generasi ke-4
marga Lie di Dusun Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Menurut Lie Giok Tian, pria 57 tahun, Ketua Perkumpulan etnis Tionghoa
di Lampu ini, ikhwal nama Lampu adalah dari lampion lampion itu.
Bisa jadi ada versi lain sejarah nama Lampu ini. Tapi sosok Lie tak
hanya soal kesetiaan warga etnis China pada raja-raja di Bali tapi soal
adaptasi multikultur yang terpelihara hingga kini. Ragam kebijaksanaan
dan peradaban yang membuat Bali kaya budaya.
Selain di Dusun Lampu, puluhan KK warga perkumpulan juga tersebar di
Dusun Langgahan perbatasan Bangli-Gianyar dan Kembangsari, perbatasan
Bangli-Buleleng. Persebaran ini disebut-sebut strategi untuk menjaga
wilayah raja Bangli dan Karangasem dari penjajahan raja lain.
Lie Giok Tian yang ditemui Senin (11/7) di dusunnya yang berjarak
sekitar 50 km arah Utara Denpasar ini mengatakan sedang menyusun sebuah
kesepakatan tertulis mengenai perpaduan ritual Tionghoa dengan Hindu
mengenai seluruh aspek kehidupan warga peranakan di Desa Catur.
“Di KTP kami beragama Budha tapi mengikuti seluruh ritual Hindu dari
lahir sampai mati. Ditambah ritual Tionghoa pada beberapa tahapannya,
bercampur tapi harmonis,” kata Lie, salah satu tokoh masyarakat yang
disegani sekitar 125 KK warga Lampu. Warga peranakan ini berjumlah
sekitar 14 KK saja di Lampu dan keseluruhan 64 KK di Desa Catur.
Minoritas, tapi sangat berpengaruh dan memperkaya desa ini.
Di sebuah rumah lain, keluarga marga Lie sedang berduka. Lie Giok
Lun, 73 tahun meninggal karena sakit. Di depan rumah ini dipajang dua
lampion putih tanda berduka. Di dalam ruangan terdapat altar berisi
rumah-rumahan kertas atau Gedong Dapet, yang menyimbolkan arwah
almarhum.
“Setelah dikubur, almarhum akan mengikuti ritual seperti Ngaben umat
Hindu disebut Cekongtik,” ujar Lie Cing Liong, keponakan laki-lakinya.
Dalam ritual yang sebagian besar seperti penyucian arwah pada,
menggunakan banten seperti upacara Ngrorasin Hindu ini. Dipimpin
pemangku ala Hindu namun ditambah ritual pemanjatan doa dan atribut
Tionghoa.
Giok Tian baru saja beberapa bulan lalu mengadakan Cekongtik untuk
sembilan anggota keluarganya yang sudha meninggal. “Saya melakukan
ritual hampir persis Hindu tapi ditambah doa-doa ke leluhur dan
mendirikan altar leluhur di dalam rumah,” katanya.
Ia mengajak melihat dua altar di kamar berbeda. Pertama altar
pemujaan dewa-dewa seperti keyakinan Tionghoa. Kedua, altar pemujaan
aggota keluarga yang sudah meninggal. Keduanya berhias kertas-kertas
merah, dupa yang selalu menyala, dan aneka makanan. Sementara di bagian
luar bangunan rumah, keluarga Lie Giok Tan juga ada sanggah atau tugu
persembahyangan ala Hindu.
Demikian juga pada upacara adat dan agama lainnya. Perkumpulan warga
peranakan di Desa Catur mengikuti persembahyangan Hindu di pura-pura.
Mereka berpakaian adat Hindu dan bersembahyang. Sebuah pura desa
setempat terlihat istimewa karena ada kongco di dalamnya. Seperti Pura
Dalem Balingkang di Batur.
“Ini sudah turun temurun, Ritual Hindu, Budha dan Tionghoa harus
berjalan seimbang. Tidak boleh ada yang saling meniadakan. Yang berani
berubah dipercaya bisa menderita,” demikian Lie Gio Tian mengingatkan
dengan serius.
Semakin lama berbincang dengan Giok Tian, agama-agama serasa
borderless. Perkumpulan peranakan ini membiarkan semuanya melebur.
Toleransi dan keragaman menyisakan semangat menjalankan banyaknya ritual
secara ikhlas.
Hanya sekali konflik yang menghantam pluralism ini. BUkan dari dalam
desa tapi dari pemerintah pusat, ketika Suharto berkuasa, warga dilarang
memperlihatkan atribut Tionghoa-nya dan menanggalkan identitas agama
Budha di KTP. “Lampu kurung lampion tidak boleh terlihat di luar kalau
ada peringatan. Hanya ini zaman pembungkaman,” kata Lie Giok Tan.
Walau minoritas, juga tak menghalangi warga memilih anggota
perkumpulan peranakan sebagai pemimpin daerah. Kelian Adat Lampu saat
ini adalah Po Chin Huang atau I Putu Sutanadi.
Ia sudah 12 tahun dipercaya menjadi Kelihan Adat yang bertugas
mengkoordinasikan ritual dan kegiatan desa pekraman warga Lampu. “Saya
dipercaya memimpin warga Hindu dan peranakan di sini, sebuah kehormatan
pada pembauran,” kata Po Chin Huang.
Untuk melestarikan keragaman ini, Ia mengatakan seluruh warga
peranakan terlibat dalam seluruh kegiatan desa seperti sekaa gong,
panitia pecalang, panitia upacara adat, dan lainnya. “Kami sudah
menyatu, dan semoga terus begitu,” tambahnya. Sebagian anggota keluarga
peranakan di Lampu bekerja di luar kota. Mereka berbondong pulang saat
peringatan kematian atau Hari Raya Imlek.
Memperkuat Pluralism, Menemukan Silsilah Keluarga Peranakan
Pembuat film documenter, Dwitra J. Ariana, anak muda Bali ini baru
saja merekam pluralism Dusun Lampu dan memenangkan lomba Film Dokumenter
Pesta Kesenian Bali 2011. Ia berniat memperdalam risetnya soal
warga-warga peranakan di Bangli, kampong halamannya. “Saya akan
menambahkan cerita lain agar makin lengkap,” katanya. Menurutnya kisah
seperti Lampu memperkaya khsanah budaya Bali dan menambah pemahaman soal
toleransi beragama di Indonesia.
Sugi Lanus, budayawan dan penulis Bali pernah membuat analisa
mengenai keluarga peranakan China di Bali. Menurutnya imigrasi warga
Tiongkok ke Bali dalam gelombang-gelombang yang berbeda. Era sebelum
Majapahit, mata uang masyarakat Bali adalah Mong, mata uang yang
diperkirakan awalnya dipakai kalangan warga Cina. Pemberlakuan mata uang
Cina ini menandakan perdagangan Cina menguasai pulau ini.
Pura Pucak Penulisan yang diperkirakan telah ada sekitar abad X
masehi di Bangli, tulis Sugi, tidak lepas dari keterkaitan legenda
pernikahan Putri Cina dengan raja Bali. Konon, putri Cina (bermarga
Kang), setelah dinikahi raja Bali, mereka membuka sebuah kawasan di
utara Gunung Batur, pada hamparan tanah subur di sekitar 4 kilometer
dari Pura Penulisan. Tempat itu disebut Bali-Kang, yang sampai kini
dikenal sebagai Pura Balingkang di Desa Pingan. Pingan berarti damai
dalam bahasa Cina.
Sugi mencatat, sensus Warga Tionghoa Volkstelling, semacam sensus
yang dilakukan pemerintah Belanda. Total jumlah imigran Tiongkok yang
telah masuk ke Indonesia sampai tahun 1930 telah mencapai 1.233.214
jiwa.
Sejumlah keturunan Tiongkok di Bali, tulis Sugi, menyebar di
segitiga perbatasan tiga Kerajaan Karangasem-Bangli-Klungkung. Di Dusun
Lampuk, yang masih bermukim di Lampu ada 6 marga: Lie, Siaw, Cwa, Po,
Ang dan Tan.
“Kalau ada warga pernakan bermarga itu yang ingin mencari tahu asal
usul keuarga bisa datang ke desa kami,” kata Lie Giok Tian, tokoh Dusun
Lampu yang pernah menjadi sopir truk pengangkut sapi Jawa-Bali ini.
Cukilan dari Kamar Kecil
Comments
Post a Comment