Sejarah Tradisi Megibung di Karangasem
Berdasarkan
informasi yang penulis peroleh dari hasil wawancara langsung dengan Penglingsir
Puri Karangasem (tokoh masyarakat) tanggal 18 April 2007 dijelaskan bahwa
tradisi megibung muncul dari para petani yang bekerja di sawah dengan nakil
(membawa makanan dari rumah) dan kemudian makan bersama dengan petani-petani
tetangganya yang juga nakil. Kegiatan tersebut terus dilakukan secara terus
menerus pada lahan kosong di perbatasan petak sawah untuk kebersamaan
para petani tersebut. Makan bersama dengan format yang lebih besar disebut
megibung. Karena formatnya besar, maka acara megibung tidak bisa dilakukan di
tengah persawahan atau di bawah pohon kopi yang rindang. Makanan untuk megibung
dipersiapkan bersama-sama. Setelah makanan jadi, makanan ditaruh dalam sebuah
tempat besar, lalu dikitari beberapa orang.
Sumber lain menyebutkan bahwa tradisi megibung (makan bersama) diciptakan oleh Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem ketika beliau menyerbu Lombok. Megibung digunakan untuk menghitung korban perang dan pasukan yang masih bertahan. Megibung memberi penekanan pada nilai kebersamaan dan demokrasi. Tidak ada perbedaan kasta dan perbedaan tingkat ekonomi, semua orang yang mengelilingi gibungan adalah sama di hadapan Dewi Sri (Dewi Kemakmuran). Tradisi ini adalah implementasi dari filosofi Bali kuno, “paros sarpanaya, selunglung sabayantaka” atau kebersamaan dalam suka dan duka.
Dari sekian banyak tradisi di Bali yang memunculkan makna
kebersamaan, salah satunya adalah soal makan. Sampai sekarang di beberapa desa
tertentu tradisi makan bersama itu tetap dipelihara dan menjadi bagian yang
mengasyikkan. Istilah lain dari makan bersama adalah melimbur, dimana
masing-masing orang membawa makanan dari rumah. Sampai di tempat yang
ditentukan dalam melimbur, masing-masing orang membuka makananya. Setiap orang
membuka lauk yang dibawanya dan menawarkan kepada yang lain. Suasana yang
dibangun adalah kebersamaan untuk merangsang nafsu makan dengan saling
mencicipi makanan dari orang lain. Sebuah tradisi kuno masyarakat agraris.
Di kabupaten Karangasem istilah makan bersama dikenal dengan
nama megibung. Megibung merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah dengan
cara lesehan posisi duduk melingkar yang biasanya berjumlah delapan orang.
Adapun keunikan tersendiri dari tradisi megibung tersebut adalah laki-laki
megibung bersama laki-laki. Sedangkan yang wanita bersama-sama dengan wanita.
Peserta megibung tak harus dengan orang-orang yang saling dikenal. Para
undangan yang tak saling kenal pun duduk dan makan bersama-sama. Sajian yang
disantap bersama, namanya gibungan yang terdiri atas nasi yang dibulatkan lalu
disajikan di atas dulang. Gibungan dilengkapi berbagai jenis masakan khas Bali
dari babi, kecuali gibungan yang tidak boleh terbuat dari kerbau atau bebek.
Tanda mulainya megibung, diawali dengan memukul kentongan. Begitu tung, tung, tung, keluarga yang memiliki hajatan mempersilakan para undangan mendekat ke tempat gibungan yang telah disediakan. Biasanya gibungan ditempatkan di halaman rumah, atau tempat yang lapang, karena jumlahnya banyak dan agar bisa serentak. Gibungan itu, ditaruh di atas alas tikar atau daun pisang. Peserta megibung boleh tak beralas, namun gibungan harus dialasi. Penghormatan kepada Dewi Sri. Bagian yang juga harus ada dalam megibung selain gibungan, adalah ceretan (tempat air minum) dan paselokan (tempat cuci tangan).
Bila para undangan sudah mendekati gibungan, tukang tarek
mulai memandu jalannya megibung. Mula-mula ditanyakan, apakah pesertanya sudah
pepek (penuh delapan orang). Jika kurang ditambah agar jumlahnya lengkap
delapan orang. Bila sudah pepek, tukang tarek mempersilakan peserta megibung
mencuci tangan. Setelah usai cuci tangan, peserta megibung harus menunggu
aba-aba dari tukang tarek. Setelah semua sudah cuci tangan, kemudian para
undangan dipersilakan mulai makan dan para undangan serentak mulai menikmati
hidangan bersama.
Setelah rangkaian megibung selesai, peserta tidak langsung bubar melainkan kembali mencuci tangan untuk megibung sanganan yang terdiri atas berbagai jenis jajan. Biasanya megibung sanganan dibarengi dengan menyajikan brem. Setelah megibung selesai, peserta tak boleh langsung bubar. Tukang tarek mempersilakan kembali cuci tangan. Gibungan yang tadinya terbuka, oleh peserta dilipat kembali. Setelah itu, peserta baru dipersilakan bubar.
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi
Megibung
Tradisi
megibung diselenggarakan dengan tujuan membangun rasa kebersamaan dan kekuatan
dari persahabatan dan persaudaraan. Semua peserta megibung adalah sama, tidak
ada yang kaya atau miskin dan tidak ada yang berpendidikan maupun yang tidak
berpendidikan. Jelas bahwa ketika peserta megibung duduk dan makan dalam satu
tempat, tidak ada lagi perbedaan kedudukan, status sosial, maupun status
pendidikan. (terjemahan dari Bali Travel News)
Megibung adalah tradisi makan bersama yang unik, yang merupakan suatu wadah kebersamaan dalam suatu lingkungan sosial, yang di dalamnya rasa suka duka melebur menjadi satu Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik (2006) , "megibung" yang merupakan salah satu unsur budaya yang tumbuh di Pulau Dewata, perlu terus dikembangkan dan didukung keberadaannya oleh semua pihak. Melalui kegiatan "megibung" akan banyak dapat dipetik makna filosofi yang mendalam, karena di dalam kegiatan itu selain terkandung unsur kebersamaan, juga disiplin dan kekerabatan. (diterjemahkan dari Travel News Thu, 28 Dec. 2006)
Megibung adalah tradisi makan bersama yang unik, yang merupakan suatu wadah kebersamaan dalam suatu lingkungan sosial, yang di dalamnya rasa suka duka melebur menjadi satu Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik (2006) , "megibung" yang merupakan salah satu unsur budaya yang tumbuh di Pulau Dewata, perlu terus dikembangkan dan didukung keberadaannya oleh semua pihak. Melalui kegiatan "megibung" akan banyak dapat dipetik makna filosofi yang mendalam, karena di dalam kegiatan itu selain terkandung unsur kebersamaan, juga disiplin dan kekerabatan. (diterjemahkan dari Travel News Thu, 28 Dec. 2006)
Megibung memiliki nilai kebersamaan, disiplin, dan kekerabatan
Budaya
megibung (makan bersama) yang masih bertahan di Karangasem, sementara di daerah
lain sudah dipunahkan oleh cara makan prasmanan. Filsafat megibung sungguh
tinggi, makan bersama tak mengenal tingkatan orang dari materi atau kedudukan
bisa makan bersama dengan aturan yang dipatuhi peserta makan. Seperti lawar
dari berbagai jenis menjadi satu, menimbulkan rasa lawar yang enak. Begitulah
hendaknya masyarakat melihat perbedaan jenis dan warna, jika disatukan bakal
menjadi enak. (Amlapura (Bali Post) Pesan Ida Pedanda Made Gunung)
Ada yang unik dalam tradisi ini, yang dilakukan oleh umat non Hindu. Beberapa umat Muslim di Bali, makan bersama dalam satu wadah (megibung) dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Seperti layaknya umat muslim di seluruh dunia, umat muslim di Pulau Dewata Bali, juga memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw dengan meriah, Sabtu (31/3) kemarin. Meski di Pulau Dewata, penganut agama Islam merupakan minoritas, perayaan maulid tetap dilangsungkan. (Metrotvnews.com, Denpasar: 2007) Seperti yang dilakukan umat muslim di Kampung Islam Kepaon, Denpasar. Warga mempunyai tradisi merayakan Maulid Nabi dengan menggelar tradisi Mengibung atau makan bersama dalam satu wadah. Makan bersama ini dilakukan di dalam masjid setempat, yang sebelumnya telah dihias beragam pohon berhias telur serta diberi lapisan kertas warna warni.
Ada yang unik dalam tradisi ini, yang dilakukan oleh umat non Hindu. Beberapa umat Muslim di Bali, makan bersama dalam satu wadah (megibung) dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Seperti layaknya umat muslim di seluruh dunia, umat muslim di Pulau Dewata Bali, juga memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw dengan meriah, Sabtu (31/3) kemarin. Meski di Pulau Dewata, penganut agama Islam merupakan minoritas, perayaan maulid tetap dilangsungkan. (Metrotvnews.com, Denpasar: 2007) Seperti yang dilakukan umat muslim di Kampung Islam Kepaon, Denpasar. Warga mempunyai tradisi merayakan Maulid Nabi dengan menggelar tradisi Mengibung atau makan bersama dalam satu wadah. Makan bersama ini dilakukan di dalam masjid setempat, yang sebelumnya telah dihias beragam pohon berhias telur serta diberi lapisan kertas warna warni.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, yaitu Padani, tradisi megibung menonjolkan nilai kebersamaan. Seluruh warga, tua-muda, besar-kecil, lelaki-perempuan, berbaur bersama dan makan dalam sebuah tempayan yang sama. Dalam tradisi Megibung ini, makanan yang disiapkan di dalam masjid merupakan sumbangan dari sejumlah warga yang lebih mampu. Biasanya makanan itu terdiri dari dari nasi, daging dan lauk-pauk. Warga yang datang, juga bisa membawa makanan sendiri untuk dimakan bersama-sama (Metrotvnews.com, Denpasar: 2007).
Comments
Post a Comment