Selain menjadi tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa (agama Konghucu), Kelenteng Eng An Kiong kini juga menjadi salah satu pilihan diantara banyak objek wisata yang ada di Kota Malang. Bukan hanya arsitektur bangunan yang indah dan menakjubkan, Kelenteng Eng An Kiong juga mudah ditemukan karena berdekatan dengan pasar besar tepatnya di Jalan Martadinata 1 Malang.
Kelenteng Eng An Kiong Malang sendiri ternyata memiliki
catatan sejarah yang begitu luar biasa karena selain menjadi salah satu
Klenteng tertua di Kota Malang juga merupakan peninggalan sejarah
turunan ketujuh Jendral Dinasti Ming. Ornamen
– ornamen indah yang tersebar di berbagai tempat serasa begitu
memanjakan mata para pengunjung yang memandangnya. Bukan hanya memiliki
unsur seni yang tinggi dan bermakna begitu mendalam, diantara beberapa
ruangan di kelenteng ini juga terdapat sebuah kolam indah yang dihuni
oleh banyak ikan koi. Untuk menghormati mereka yang sedang berdoa di Kelenteng Eng An Kiong Kota Malang,
para pengunjung disarankan tidak memotret maupun melakukan sesuatu yang
dapat menggangu umat yang sedang beribadah. Biasanya, banyak tradisi
budaya yang sarat dengan nilai religius diadakan di Kelenteng Eng An
Kiong terutama ketika menjelang peringatan Tahun Baru Imlek. Bagi yang
ingin diramal, disini Anda juga bisa melakukan Chiam Si (ramalan
keberuntungan) yang memang diperuntunkan oleh umat maupun turis.
Kelenteng Eng An Kiong
mempunyai sejarah yang luar biasa yang bagus, merupakan peninggalan sejarah
turunan ketujuh jendral Dinasti Ming. Berjarak sekitar 400 ratus tahun setelah
Laksamana Cheng Ho menapak di tanah Jawa, pada tahun 1825 dibangunlah Klenteng
Eng An Kiong atas inisiatif Lt. Kwee Sam Hway. Letnan ini adalah keturunan
ketujuh dari seorang Jendral zaman Dinasti Ming berkuasa di Tiongkok. Ketika
itu keturunan sang Jendral ditekan oleh Dinasti Jing sehingga terpaksa
melarikan diri ke Indonesia.
Sang
Kapiten (keturunan kelima Jendral masa Dinasti Ming) mendarat di Jepara
kemudian menikah dengan putri yang leluhurnya mendarat di Sumenep Madura. Nah,
Lt. Kwee Sam Hway adalah turunan ketujuh alias cucu dari sang Kapiten yang
kemudian membangun Klenteng Eng An Kiong. Dia berangkat dari Sumenep dan
akhirnya menemukan sebuah daerah di Kota Malang.
Lantaran
saat itu penduduknya berbasis agraris, akhirnya Dewa Bumi (Hok Ting Cing Sien)
menempati altar induk Eng An Kiong. Patung itu dibawa dari Tiongkok dengan
tandu kayu jati berlapis kertas emas yang masih ada hingga kini.
Dijelaskan
oleh Bonsu Hanom Pramana bahwa Eng An Kiong berarti istana keselamatan dalam
keabadian Tuhan. ”Dulu pada zaman penjajahan Belanda, Lt. Kwee Sam Hway
menjabat tahun 1842-1863,” katanya.
Sepeninggal
Lt. Kwee Sam Hway, klenteng kemudian dipegang oleh kedua putranya secara
berturut-turut, yaitu Lt. Kwee Sioe Ing (1864-1880) kemudian Lt. Kwee Sioe Go
(1880-1889). Pada tahun 1895-1905, dilakukan penambahan ruang pada masa Lt. Han
Shi Tai atau Han Sioe An (Ketua pada 1897-1903), Lt. The Boen Kik tahun
1904-1914 dan Lt. Tan Kik Djoen (1914-1920).
Kabarnya, Kelenteng Eng An Kiong ini dibangun pada tahun 1825. Rumah peribadatan untuk umat Tri Darma (Konghucu, Tao dan Budha Mahayana) ini merupakan peninggalan dari turunan ketujuh Jendral Dinasti Ming.
Menurut sejarah, kurang lebih sekitar 400 tahun lamanya setelah Laksamana Cheng Ho menapakkan kaki di tanah Jawa, Kelenteng Eng Ang Kiong pun didirikan. Hal itu berdasarkan inisiatif dari Lt. Kwee Sam Hway, Ngalamers. Ia adalah keturunan ketujuh dari seorang Jendral di jaman Dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok. Saat itu, keturunan sang Jendral ditekan oleh Dinasti Jing sehingga terpaksa melarikan diri ke Indonesia.
Sang Kapiten (keturunan kelima Jendral masa Dinasti Ming) mendarat di Jepara kemudian menikah dengan putri yang leluhurnya mendarat di Sumenep Madura. Nah, Lt. Kwee Sam Hway adalah cucu dari sang Kapiten yang kemudian membangun Klenteng Eng An Kiong. Dia berangkat dari Sumenep dan akhirnya menemukan sebuah daerah di Kota Malang, Ngalamers.
Kelenteng tidak sekedar tempat kehidupan keagamaan berlangsung. Tapi juga merupakan ungkapan lahiriah masyarakat yang mendukungnya. Itulah sebabnya penelitian mengenai sebuah kelenteng dapat memberikan sumbangan sangat berharga untuk memahami sejarah sosial masyarakat Tionghoa setempat. Seperti diketahui bahwa pada masa penjajahan Belanda masyarakat Tionghoa yang digolongkan sebagai Vreemde Oosterligen (Timur Asing), dikepalai oleh pemimpin kelompok yang tunjuk oleh pemerintahan kolonial. Pemimpin ini biasanya diberi pangkat seperti letnan, kapten atau kalau jumlah penduduk Tionghoa setempat cukup banyak terdapat seorang mayor. Lalu apa hubungan antara para opsir Tionghoa ini dengan kelenteng? Tugas opsir Tionghoa selain mengawasi masyarakatnya, juga bertanggung jawab atas pemungutan pajak, mengatur monopoli terhadap barang tertentu dibidang ekonomi, mengurus kelenteng-kelenteng, serta membiayai upacara-upacara keagamaan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengurus pemakaman/pekuburan.Gong-guan (Kong-kwan-Hokkian) atau dewan Tionghoa, yang dalam bahasa Belanda terkenal dengan sebutanChineeseraad diadakan untuk membantu pekerjaan ‘administratif’ mayor Tionghoa .Jadi kedudukan opsir Tionghoa sangat penting di dalam organisasi masyarakatnya.
Opsir Tionghoa biasanya berasal dari keluarga kaya di daerahnya. Mereka ini tidak jarang menguasai jalur perdagangan komoditas tertentu di daerahnya. Di Pasuruan keluarga opsir Tionghoa menguasai perdagangan peredaran opium serta penggilingan gula (sugar mill). Tidak jarang mereka ini mayoritas hanya berasal dari keluarga tertentu saja. Demikan juga halnya dengan di Pasuruan para opsir Tionghoa ini berasal dari keluarga Han (yang asal usulnya dari Surabaya) dan keluarga Guo (Kwee – Hokkian), yang berasal dari Semarang. Karena para opsir ini juga berfungsi sebagai pengurus kelenteng maka tidak jarang mereka ini membiayai upacara-upacara keagamaan. Pada sebuah kelenteng tidak jarang kita jumpai semacam prasasti di kelenteng tersebut. Tidak jarang nama para opsir atau penyumbang kelenteng yang lain diabadikan dalam bentuk tulisan dalam prasasti tersebut.
Sulit untuk meng-generalisasi bentuk sebuah kelenteng. Karena kelenteng sendiri selain bermacam-macam jenisnya, juga besar kecilnya sangat bervariasi. Dewa-dewa yang ada di setiap kelentengpun berbeda satu sama lain. Meskipun sebagian besar dewa yang terdapat di kelenteng Asia Tenggara pada umumnya adalah Mak co atau Mazu atau Thiansan Seng Bo.
Tapi secara fisikbangunan kelenteng pada umumnya terdiri dari empat bagian. Yaitu: Halaman Depan, Ruang Suci Utama, Bangunan Samping dan Bangunan Tambahan. Yang pertama adalah Halaman Depan yang cukup luas. Halaman ini digunakan untuk upacara keagamaan berlangsung. Lantai halaman depan ini kadang-kadang dilapisi dengan ubin, tapi tidak jarang hanya berupa tanah yang diperkeras. Perlu dimaklumi bahwa tata cara peribadahan di kelenteng memang tidak dilakukan bersama-sama pada waktu tertentu, seperti di gereja atau mesjid. Cara peribadahan di kelenteng dilakukan secara pribadi, sehingga di dalam kelenteng tidak terdapat ruang yang luas untuk menampung umat.
Upacara perayaan keagamaan seperti Cap Gomeh atau sembayang rebutan (pu-du, pesta Tionghoa pada pertengahan bulan ke-7, biasa disebut juga ‘rebutan’ atau cioko), bahkan wayang Tionghoa atau potehi (bu-dai-xi), juga digelar dihalaman depan ini. Tidak jarang halaman depan ini juga dipakai untuk tempat bermain barongsai. Di halaman depan ini biasanya juga terletak tempat pembakaran kertas (jin-lu), tiang-tiang pagoda atau tidak jarang juga sepasang singa batu (kadang-kadang tertera tahun pembuatannya).
Yang kedua, adalah Ruang Suci Utama, merupakan bagian utama dari sebuah kelenteng. Bangunan kelenteng biasanya mempunyai ragam hias yang indah dan detail sekali. Atapnya berbentuk perisai dengan ‘nok’ melengkung ditengah serta ujungnya melengkung keatas. Nok selalu sejajar dengan jalan. Diatas nok tersebut biasanya terdapat sepasang naga yang memperebutkan ‘mutiara surgawi’. Kelenteng-kelenteng kuno mempunyai hiasan yang sangat indah. Tukang-tukang sekarang jarang bisa mereparasi kembali kalau terjadi kerusakan.
Tampak depannya kadangkala terdapat semacam teras tambahan. Pintu depannya terdiri dari dua daun kayu yang sering dihias dengan lukisan dua orang penjaga (men-sen). Tapi banyak kelenteng yang pintunya dibiarkan terus terbuka. Biasanya didepan atau didalam ‘ruang suci utama’ ini selalu terdapat papan yang melintang (bian-e) atau papan membujur (dui-lian), sumbangan bagi para dermawan selama berabad-abad. Dari tulisan ini kadang-kadang kita bisa mendapat informasi tentang sejarah kelenteng serta masayarakat pendukungnya dimasa lampau. Ukuran besar dan kecilnya ruang suci utama ini berbeda pada setiap kelenteng. Tapi pada umumnya berbentuk segi empat. Di kelenteng-kelenteng besar terdapat semacam courtyard ditengahnya yang digunakan sebagai tempat pemasukan cahaya alami, serta menampung air hujan dari atap. Konstruksi utamanya adalah kolom dan balok. Tidak jarang kolom yang ada di dalam interiornya dipahat dengan dengan sangat indah. Sebuah altar utama terdapat pada dinding belakang ruang suci utama ini. Dewa utama terletak disini.
Di depan altar paling tidak terdapat sebuah meja . Kadang-kadang lebih dari satu. Sering juga diapit dengan dua altar samping. Diatas meja pertama selalu terdapat tempat pedupaan. Di depan tempat pedupaan terdapat beberapa batang hio yang selalu mengepulkan asap. Di meja altar depan sering terdapat mu-yu, semacam alat bunyi-bunyian dari kayu, dan khususnya sesajen-sesajen tertentu berupa bauh-buahan, kue-kue dan makanan. Meja ini penuh makanan terutama pada hari-hari raya keagamaan. Di dekat pedupaan ini sering terdapat benda-benda penting, yang memungkinkan para dewa dapat ditanya tentang masa depan. Misalnya seperti bei-jiao (dua potong kayu berbentuk tiram yang dapat dilempar ke tanah) dan sebuah vas kayu berbentuk silinder (gian-tong), yang berisi lusinan bilah kayu (bu-qian) didalamnya. Tiap-tiap bilah cocok dengan syair yang tertulis pada secarik kertas yang merupakan jawaban sang dewa. Orang yang sembahyang mengocok vas tersebut, sampai sebilah kayu akan jatuh kelantai lalu mengambil secarik kertas bernomor yang sesuai dengan kayu tadi dari salah satu laci sebuah lemari kecil. Ada kelenteng tertentu kadang-kadang kita juga bisa meminta kertas (hoe), untuk keselamatan dan kesehatan. Besar kecil ruang suci utama ini sangat bervariasi dari satu kelenteng dengan kelenteng lainnya.
Yang ketiga, adalah ruang-ruang tambahan, ruang ini sering dibangun kemudian setelah ’ruang suci utama berdiri’. Bahkan tidak jarang dibangun setelah kelenteng berdiri selama bertahun-tahun. Hal Ini disebabkan karena adanya kebutuhan yang terus meningkat dari kelenteng yang bersangkutan.
Yang keempat adalah bangunan samping. Bangunan ini biasanya dipakai untuk menyimpan peralatan yang sering digunakan pada upacara atau perayaan keagamaan. Misalnya untuk menyimpan Kio (joli), yang berupa tandu, yang digunakan untuk memuat arca dewa yang diarak pada perayaan keagamaan tertentu.
Beberapa Ciri dari Arsitektur Tionghoa di daerah Pecinan
David G. Khol (1984:22), menulis dalam buku “Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya”, memberikan semacam petunjuk terutama bagi orang awam, bagaimana melihat ciri-ciri dari arsitektur orang Tionghoa yang ada terutama di Asia Tenggara. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :
- “courtyard”
- Penekanan pada bentuk atap yang khas.
- Elemen-elemen struktural yang terbuka (yang kadang-kadang disertai dengan ornamen ragam hias)
- Penggunaan warna yang khas.
Courtyard merupakan ruang terbuka pada rumah China. Ruang terbuka ini sifatnya lebih privat. Biasanya digabung dengan kebun/taman. Rumah-rumah gaya China Utara sering terdapat courtyard yang luas dan kadang-kadang lebih dari satu, dengan suasana yang romantis. Tapi di daerah China Selatan dimana banyak orang Tionghoa Indonesia berasal, courtyard nya lebih sempit karena lebar kapling rumahnya tidak terlalu besar (Khol, 1984:21). Rumah-rumah orang-orang Tionghoa Indonesia yang ada di daerah Pecinan jarang mempunyai courtyard. Kalaupun ada ini lebih berfungsi untuk memasukkan cahaya alami siang hari atau untuk ventilasi saja. Courtyard pada arsitektur Tionghoa di Indonesia biasanya diganti dengan teras-teras yang cukup lebar.
Gambar Typical rumah China yang mempunyai courtyard.
Penekanan pada bentuk atap yang khas.
Semua orang tahu bahwa bentuk atap arsitektur China yang paling mudah ditengarai. Diantara semua bentuk atap, hanya ada beberapa yang paling banyak di pakai di Indonesia. Diantaranya jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung keatas yang disebut sebagai model Ngang Shan (lihat Gb.4.)
Elemen-elemen struktural yang terbuka (yang kadang-kadang disertai dengan ornamen ragam hias)
Keahlian orang Tionghoa terhadap kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu, tidak dapat diragukan lagi. Ukir-ukiran serta konstruksi kayu sebagai bagian dari struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa, dapat dilihat sebagai ciri khas pada bangunan China. Detail-detail konstruktif seperti penyangga atap (tou kung), atau pertemuan antara kolom dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat sedemikian indah, sehingga tidak perlu ditutupi. Bahkan diperlihatkan telanjang, sebagai bagian dari keahlian pertukangan kayu yang piawai.
Gambar Struktur penyangga atap yang menjadi salah satu ciri khas rumah-rumah orang China di daerah Pecinan.
Gambar Rangka penyangga atap yang diperlihatkan sebagai dekorasi pada rumah di daerah Pecinan.
Penggunaan warna yang khas
Comments
Post a Comment