Paling tidak ada dua makna yang dapat diurai berkaitan dengan “Acintya” ini.
Pertama, Acintya sebagai suatu istilah yang didalam kitab suci Bhagavadgita II.25, XII.3 atas Manawadharmasastra I.3 disebut dengan kata: Acintyah, Acintyam atau Acintyasa yang artinya memiliki sifat yang tidak dapat dipikirkan. Dalam bahasa Lontar Bhuwana Kosa, “Acintyam” bahkan diberi artian sebagai “sukma tar keneng anggen-anggen”: amat gaib dan tidak dapat dipikirkan.
Lalu siapa yang dikatakan memiliki sifat tidak dapat dipikirkan itu, tidak lain dari Sang Paramatman (Hyang Widhi) termasuk Sang Atman itu sendiri. Jadi, sebagai suatu istilah, “Acintya” mengandung makna sebagai penyebutan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan.Kedua, Acintya sebagai symbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan itu sendiri. Bahwa apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui media penggambaran, relief atau pematungan. Maka muncullah gambar Acintya di atas selembar kain putih sebagai “ulap-ulap” ketika ”melaspas atau ngenteg linggih” sebuah pura. Atau relief Acintya di bagian “ulon” (Singgasana) Padmasana atau dalam bentuk patung/arca tersendiri. Kesemua bentuk symbol Acintya yang diwujud-nyatakan itu mengandung makna sama yaitu sebagai penggambaran dari kemahakuasaan Tuhan. Dengan mewujud-nyatakan simbol yang sebenarnya “tidak terpikirkan” itu dikandung maksud agar umat berada pada situasi di mana emosi religinya sangat dekat dengan Tuhan.
Perihal posisi/sikap Acintya dalam media penggambaran sangat bervariasi. Secara kasat mata, Acintya merupakan gambaran dari sosok beranatomi manusia tanpa jenis kelamin (tidak laki-laki, tidak perempuan, juga tidak banci), berdiri dengan dua kaki (dwi pada) atau pula dengan satu kaki (kaki kiri di bawah, kaki kanan terangkat). Lalu sikap tangan, ada yang Amustikarana, Dewa Pratistha, Anjali Mudra dan ada juga satu tangan di dada, sedang satunya lagi menjulur ke bawah. Variasi lainnya nampak pada hiasan yang menyertai sosok Acintya itu seperti lukisan cakra dan padma dan tidak ketinggalan Aksara suci “Ang, Mang, Ung, Ong”.
Meskipun begitu bervariasinya penggambaran wujud Acintya ini, maknanya tetap tidak tergeser yaitu sebagai ekspresi penghayatan umat Hindu untuk
membayangkan/menggambarkan Hyang Widhi yang tidak terpikirkan itu melaui media konkret (gambar, relief dan patung).
Terakhir, tidak ada ketentuan yang mewajibkan di setiap pelinggih Padmasana diisi gambar, relief atau patung Acintya. Sebab dari segi konsepsi, Padmasana itu sendiri adalah sthana/linggih dari Hyang Widhi. Lagi pula fenomena pembuatan gambar, relief, atau patung Acintya ini jauh belakangan dari lahirnya konsepsi Padmasana itu sendiri, yang diarsiteki oleh Dang Hyang Niratha pada abad ke-15.
Pertama, Acintya sebagai suatu istilah yang didalam kitab suci Bhagavadgita II.25, XII.3 atas Manawadharmasastra I.3 disebut dengan kata: Acintyah, Acintyam atau Acintyasa yang artinya memiliki sifat yang tidak dapat dipikirkan. Dalam bahasa Lontar Bhuwana Kosa, “Acintyam” bahkan diberi artian sebagai “sukma tar keneng anggen-anggen”: amat gaib dan tidak dapat dipikirkan.
Lalu siapa yang dikatakan memiliki sifat tidak dapat dipikirkan itu, tidak lain dari Sang Paramatman (Hyang Widhi) termasuk Sang Atman itu sendiri. Jadi, sebagai suatu istilah, “Acintya” mengandung makna sebagai penyebutan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan.Kedua, Acintya sebagai symbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan itu sendiri. Bahwa apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui media penggambaran, relief atau pematungan. Maka muncullah gambar Acintya di atas selembar kain putih sebagai “ulap-ulap” ketika ”melaspas atau ngenteg linggih” sebuah pura. Atau relief Acintya di bagian “ulon” (Singgasana) Padmasana atau dalam bentuk patung/arca tersendiri. Kesemua bentuk symbol Acintya yang diwujud-nyatakan itu mengandung makna sama yaitu sebagai penggambaran dari kemahakuasaan Tuhan. Dengan mewujud-nyatakan simbol yang sebenarnya “tidak terpikirkan” itu dikandung maksud agar umat berada pada situasi di mana emosi religinya sangat dekat dengan Tuhan.
Perihal posisi/sikap Acintya dalam media penggambaran sangat bervariasi. Secara kasat mata, Acintya merupakan gambaran dari sosok beranatomi manusia tanpa jenis kelamin (tidak laki-laki, tidak perempuan, juga tidak banci), berdiri dengan dua kaki (dwi pada) atau pula dengan satu kaki (kaki kiri di bawah, kaki kanan terangkat). Lalu sikap tangan, ada yang Amustikarana, Dewa Pratistha, Anjali Mudra dan ada juga satu tangan di dada, sedang satunya lagi menjulur ke bawah. Variasi lainnya nampak pada hiasan yang menyertai sosok Acintya itu seperti lukisan cakra dan padma dan tidak ketinggalan Aksara suci “Ang, Mang, Ung, Ong”.
Meskipun begitu bervariasinya penggambaran wujud Acintya ini, maknanya tetap tidak tergeser yaitu sebagai ekspresi penghayatan umat Hindu untuk
membayangkan/menggambarkan Hyang Widhi yang tidak terpikirkan itu melaui media konkret (gambar, relief dan patung).
Terakhir, tidak ada ketentuan yang mewajibkan di setiap pelinggih Padmasana diisi gambar, relief atau patung Acintya. Sebab dari segi konsepsi, Padmasana itu sendiri adalah sthana/linggih dari Hyang Widhi. Lagi pula fenomena pembuatan gambar, relief, atau patung Acintya ini jauh belakangan dari lahirnya konsepsi Padmasana itu sendiri, yang diarsiteki oleh Dang Hyang Niratha pada abad ke-15.
Comments
Post a Comment